Selasa, 11 Oktober 2016

Kecemasan Kaum Muda Urban



Perkotaan [1] kian disesaki kaum muda produktif. Beban kerja, tekanan lingkungan dan sosial, serta ketidakpastian masa depan membuat banyak di antara mereka stres. Jika tak segera ditangani, gangguan kejiwaan itu berpengaruh besar bagi kesehatan dan hubungan sosial masyarakat.


"Seratus domba, seratus satu domba, seratus dua domba.," ucap Chairul (32), warga Bintaro, Tangerang Selatan, pekan lalu, sambil memejamkan mata di atas ranjang untuk membantunya tidur. Namun, setelah hitungan ke-103, ia menyerah dan memilih bermain gawai meski jam sudah menunjukkan pukul 01.00.



Sebanyak lima hari dalam sepekan, Chairul hanya tidur empat jam setiap hari. Meski sudah mengantuk dan merebahkan diri di kasur sejak pukul 23.00, ia baru bisa tidur pukul 04.00. Keesokan hari, ia selalu terbangun pukul 08.00. "Saya insomnia sejak 2014," katanya.



Gangguan tidur itu dialami Chairul saat bekerja sebagai anggota tim kreatif di sebuah perusahaan periklanan di Jakarta. Adanya pesanan pembuatan beberapa iklan televisi dengan tenggat waktu yang ketat memaksanya kerja lembur mulai pukul 12.00 hingga 02.00.



Satu iklan idealnya butuh waktu sebulan untuk pengerjaannya dari pembahasan konsep hingga shooting. Namun, tuntutan klien membuat satu iklan harus selesai dalam tiga hari.



Siklus hidup dan jam biologisnya pun berubah. "Saya tertekan dengan tenggat yang diberikan. Bahkan, menurut istri, igauan saya dalam tidur masih soal pekerjaan," ujarnya.



Meski ia sudah keluar dari perusahaan itu pada akhir 2014 dan kini bekerja sebagai pembuat mural dan pekerja paruh waktu bidang periklanan, insomnianya tak juga hilang. Kondisi kurang tidur itu membuatnya merasa tak segar, suasana hati (mood) berantakan dan mudah marah. "Kadang merasa bersalah karena lebih mudah marah kepada anak," katanya.



Berbeda dengan Chairul yang memilih di rumah saat tak bisa tidur, Jenny (24), pegawai keuangan perusahaan periklanan di Meruya, Jakarta Barat, mencari kesibukan di luar rumah. Pada akhir pekan, ia menghabiskan waktu bersama teman di kafe atau diskotek sampai pukul 02.00. Ketika bersama teman, ia minum anggur untuk membantunya cepat tidur. 



Padahal, minuman beralkohol mengacaukan pola tidur. Di awal, alkohol seolah membantu tidur lebih cepat dan dalam. Namun sejatinya alkohol mengurangi fase tidur dangkal yang berguna memperbaiki kesehatan secara umum.



Jenny mengalami insomnia sejak pertama bekerja pada 2013. Saat itu, ia menjadi pegawai di bidang legal perusahaan alat kesehatan. Pekerjaan itu menuntutnya kerap lembur sampai pukul 04.00 selama 3-4 hari sepekan. Esoknya, ia harus masuk kantor pukul 08.30. "Banyak lembur biasanya terjadi dari pertengahan sampai akhir tahun," katanya.



Meski sudah lama keluar dari perusahaan itu, insomnianya tak lenyap. Ia mencoba tidur pukul 24.00. Sebelum tidur, ia menciptakan suasana nyaman, seperti mengenakan piama, berselimut, dan mematikan lampu. Namun, ia baru bisa tidur pukul 04.00. "Akibat kurang tidur, saya mudah lemas dan tak semangat bekerja," katanya.



Memicu depresi



Susah tidur adalah gejala yang kerap dialami orang stres atau tertekan. Agar bisa tertidur, seseorang butuh ketenangan. Namun, gejala itu kerap diabaikan. Warga lebih memperhatikan gejala fisik akibat stres, seperti pusing, sakit otot, jantung berdebar, dan sakit lambung. Akibatnya, mereka tak mencari pertolongan ke psikiater.



Psikiater Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta Nurmiati Amir mengatakan, tekanan kerja atau jadwal kerja tak teratur memicu stres hingga insomnia. "Saat tertekan, tubuh mengeluarkan hormon norepinefrin yang membuat tak tenang dan sulit tidur," ujarnya.



Jika jadwal kerja tak normal dipertahankan, pola tidur tak sehat jadi kebiasaan buruk yang bertahan lama. Padahal, insomnia berkepanjangan berisiko menimbulkan depresi ataupun gangguan fisik dan mengganggu konsentrasi kerja. "Gangguan tidur menghambat konsolidasi memori sehingga informasi tak terekam otak," ujarnya.



Lanny S Tanudjaja, dokter di Klinik Tidur RS Premier Bintaro, Tangerang Selatan, menegaskan, insomnia sebaiknya tak diatasi dengan obat tidur, tetapi dengan menerapkan higienis tidur ketika hendak tidur. Selain itu, dianjurkan tidur dengan jadwal sama tiap hari, mematikan lampu, tak makan berat, tak merokok, atau tak konsumsi kafein 3 jam menjelang tidur.



Tempat tidur juga harus bersih dari barang-barang, seperti buku atau laptop. "Fungsi ranjang hanya dua, untuk tidur dan berhubungan seksual," ucapnya.



Tata kota



Sejauh ini, prevalensi gangguan jiwa berat nasional 1,7 per 1.000 orang. Sementara prevalensi gangguan mental emosional 6 persen. Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan, prevalensi gangguan mental emosional lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di perdesaan.



Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia Eka Viora mengatakan, gangguan jiwa yang banyak terdeteksi di perkotaan antara lain depresi, kecemasan, panik, dan kecanduan. "Kemacetan, kriminalitas, dan kemiskinan turut menjadi pemicu," ujarnya.



Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Rahmat Hidayat mengatakan, ritme hidup dan dinamika kota serba cepat jadi faktor risiko stres. Tata kota dan sistem transportasi buruk jadi faktor penekan membuat warga rentan stres. "Stres dan perkotaan itu identik," katanya.



Padahal, kini 54 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Itu membuat potensi warga stres amat besar. Jika tak segera diantisipasi, itu memicu banyak masalah kesehatan dan sosial. Apalagi, banyak warga melepaskan stres dengan rokok, alkohol, atau obat terlarang.



Karena itu, menyeimbangkan diri antara kehidupan karier dan sosial, serta memperbaiki tata kota dan transportasi, menjadi kunci mencegah stres warga. Aturan ketenagakerjaan pun harus dirombak agar bisa melindungi pekerja, khususnya pekerja muda, dari jam kerja berlebih. [2], [3].

[1]. Tulisan ini merupakan artikel yang dimuat di koran Kompas yang diterbitkan pada tanggal 11/10/2016. "Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2016, di halaman 1 dengan judul "Kecemasan Kaum Muda Urban".
[2]. (C04/MZW)
[3]. Bagi saya, artikel ini merupakan artikel yang sangat menarik, karena generasi muda urban, memang benar-benar merasakan derita ini, tak menutup kemungkinan, bahkan saya pun merasakan hal tersebut, gelisah, susah tidur, setres. Padahal jika dipikirkan, saat-saat menjelang tidur merupakan saat yang paling menyenangkan, namun entah mengapa saya merasakan hal yang berbeda, bahwa saat sebelum tidur justru menjadi hal yang sangat menyakitkan, kenapa tidak, sudah hampir 2 jam saya mencoba untuk tidur namun yang terjadi adalah saya tidak  dapat tidur, meskipun badan ini sudah lelah, namun otak dan mata tak bisa terpejam nyenyak dalam buaian mimpi.

Senin, 03 Oktober 2016

Tuhan Baru Itu Bernama Sma*t Ph*n*


Kawan, sampai kapan kalian akan sadar, bawah apa yang kalian yakini sebagai Tuhan, kini telah ada dan nyata, bahkan Tuhan itu kini bisa kalian pegang, kalian raba, kalian cium, bahkan kalian tempelkan di Pipimu.
Sudah lah, tidak usah mengelak, bahwa apa yang orang-orang terdahulu yakini sebagai Tuhan kini keyakinan itu telah bergeser. Sadarlah....
Sekarang begini, jika dulu ketika orang meyakini Tuhan serta kekuatan yang Tuhan miliki, orang akan gelisah jika tidak dekat dengan Nya, oleh karena itu mereka selalu mengingat dan menyebut TuhanNya, kemanapun, bahwa ketika malam pertama perkawinan pun, mereka (orang-orang dulu) selalu berdoa dan menyebut nama Tuhanya.

Namun kini, hal itu tak perlu lagi kalian kawatirkan, saat ini Tuhan telah bermetamorfosis menjadi fleksibel dan efisian, gimana..... enak kan, punya Tuhan yang efisien.
Bahkan umat sekarang justru lebih rajin dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, karena cukup dengan mengusap pola atau mengetikan serangkaian angka, maka Tuhan mu telah menyapa.

Sudahlah tak usah mengelak....

Kalian sebenarnya sudah tahu kok siapa sesungguhnya Tuhan yang saat ini kalian sembah. Tentu tak perlu aku tuliskan "HP/Smart Phone" kan dalam tulisan ini untuk mengetahui siapa nama Tuhan yang saat ini sudah kamu sayang, kamu cinta, kamu sembah, bahkan kamu akan merasa gelisah, pusing atau mual muntah jika kamu tidak sedang bersama atau dekat dengan Tuhan BaruMu itu.

-----------peraduan: 03.00am

Jatirogo - Bulu - Sarang & Pesantren


Kehidupan pesantren begitu terasa, ketika mengawali langkah kaki pada kota kecil disudut kabupaten Tuban, "Jatirogo". Daerah yang terkenal dengan udaranya yang panas dan mentari yang terik, menjadi sebuah sapaan bagi setiap orang yang menapakan kaki di kota ini.
Kehidupan yang relatif santai dengan penduduknya yang mayoritas bekerja sebagai seorang peladang, menjadi gambaran yang khas pada daerah disekitar pantai utara jawa.
Pohon-pohon "bogor" (sebutan bagi pohon penghasil legen) menjulang tinggi berdampingan dengan pohon jambu monyet. Bagi masyarakat jatirogo dan sekitarnya minum legen merupakan kebiasaan yang jamak dilakukan, kesegaran yang ditawarkan oleh legen mengalahkan minuman bersoda pabrikan yang banyak dijual dikota-kota.
Tidak hanya legen yang menjadi gambaran umum daerah ini, Jatirogo, Bulu (Jawa Timur), dan Sarang (Jawa Tengah) seakan memiliki cora budaya yang tidak jauh berbeda, yaitu pesantren.
Di tiga daerah ini, kedetakan masyarakat dengan budaya pesantren menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan. Pada umunya masyarakat disini mensekolahkan anak-anaknya di sekolah Madrasah Ibtidaiyah atau sekolah dasar dipagi hari dan sore hari di Taman Pendidikan Alqur'an (TPQ)
Atas bentuk pendidikan itulah, tak jarang anak-anak kecil disini sudah bisa baca tulis Al Qur'an. Gaya pembelajaranyapun cukup sederhana dan tradisional, meski demikian, lulusan-lulusan yang dihaasilkanya tidak dapat dipandang remeh.                        
Terbukti, banyak dari lulusan sekolah "sederhana" disini yang mampu melanjutkan ke perguruan lebih tinggi bahkan hingga ke luar negeri. Mesir, Arab Saudi, Qatar, Irak, Iran adalah negara-negara yang jamak dituju oleh para santri disini.
Dari kehidupan yang sederhana, sekolah yang sederhana serta masyarakatnya yang sederhana pula, namun mampu membentuk karakter kuat masyarakat Jatirogo, Bulu, Sarang.
Bukan masalah metode pembelajaran yang serba modern, atau kurikulum multimedia namun ketulusan tekat untuk terus belajar hingga mereka mampu menjadi manusi-manusia berkarakter.

Bulu, 14/9/16

Berapa Kali Harus Terbentur?


Terbentur, Terbentur, Terbentuk
Terbentur;
Kembali, aku harus merasakan bagaimana rasanya terbentur, terbentur pada sebuah kenyataan bahwa hidup ini akan terus berjalan dan sang waktu tidak pernah sedikitpun mau menunggu. Aku terbentur cukup keras kali ini, terbentur dalam meraih idealisme, terbentur dalam sebuah perjuangan untuk menggapai cita-cita yang sebelumnya telah aku gantungkan di ujung roket hingga akhirnya terbang ke angkasa. Angan-angan bahwa aku adalah generasi harapan bangsa.

Terbentur:
Ya.... Meski sebelumnya aku telah gagal, namun aku tidak menyerah dan patah arang untuk selalu berusaha dalam mencapai keadaan yang ideal, dimana benar adalah benar dan salah adalah salah, hingga akhirnya aku terbentur lagi untuk yang kedua kalinya. Kali ini aku menjadi pejuang adil dan ideal garis keras dimana pemilik modal tidak akan bisa berkutik jika pekerjanya melakukan pemogokan, ya... sebuah keadaan yang ideal, meski makan 1x sehari namun ketika masih memiliki angan-angan yang "ideal" itu, seakan perut ini menjadi kenyang, namun pada akhirnya aku terbentur lagi.

Terbentur;
Dua kali terbentur tidak membuatku patah semangat, meski keadaan yang ideal serta keadilan yang selalu dipuja dan diperjuangkan oleh banyak orang itu masih belum jelas wujudnya, namun selama masih memiliki semangat itu, tak masalah jika tidak punya uang untuk makan, bahkan besok mau makan apa juga tak tau, yang jelas "sesuatu yang ideal" itu adalah harta kekayaan yang tak ternilai harganya --- walaupun harta terakhir---.

Terbentuk:
Setelah 3x terbentur, akhirnya aku sadar, bahwa sesuatu yang ideal itu adalah suatu angan-angan yang utopis, meski tidak nyata namun tetap ada sebagai suatu angan-angan. Selain itu perlu di catat, jika aku terus-terusan mempertahankan sesuatu yang ideal tanpa membuka mata untuk dunia ini, maka aku tidak akan bisa sadar, bahwa: TV, AC, Kulkas, Pompa Air, KPR, BPJS tidak dapat diatasi hanya dengan senyuman dan "ideal", serta rasa lapar yang mendera istri dan anakku tidak akan selesai hanya dengan membicarakan #wacana dan #retorika.