Minggu, 21 Agustus 2016
Aku dan Otakku
"sudah lah nyo, kamu jangan terus-terusan merenung seperti itu", seru wanita setengah baya itu kepadaku.
"tidak ma, aku tidak lagi murung sebagaimana hari kemarin. aku cuma mencoba menyadarkan otak dan pikiranku, bahwa aku harus terus berusaha", jawabku kepada ibuku, wanita yang selalu memberi aku semangat, meski kehidupan keluargakupun juga tidak begitu baik.
"lalu, kenapa kamu masih saja murung, dan memandangi gambar itu terus menerus".
"aku hanya iri ma, iri karena aku belum bisa seperti mereka, bukan berarti aku iri lantas menjadi dengki, bukan, rasanya dalam diriku ini ingin berintak, aku tak ingin terus menerus diam seperti ini'.
"lantas kalau kamu iri dengan mereka, maka bangunlah, jangan hanya terdiam terpaku hanya pada gambar itu?"
"aku ingin bergerak ma, aku ingin melangkah bebasa, tapi kata-kata yang dulu itu masih terus ternyiang ditelingaku, kata-kata bahwa aku harus selalu menurut, selalu patuh, aku tak boleh berontak, ucapan-ucaoan manis itu selelu ternyiang ditelingaku"
"nyo, jika kamu masih memikirkan hal itu, maka selamanya kamu akan seperti ini, kamu akan selalu terjajah, bukankah bangsa ini sudah merdeka?".
tatapan ibuku semakin tajam seakan menusuk tepat di jantungku. Sejenak aku berfikir, benar juga apa yang dikatakan oleh ibuku, wanita yang setiap hari memeras keringat untuk menghidupiku.
***
"ah, itu hanya bayanganku, lagipula saat ini aku sedang berada di tempat yang sangat jauh darinya" dalam hati aku berkata.
"tapi, aku tak bisa menerimanya begitu saja, gambar ini memberikan aku kesadaran bahwa aku harus berusaha, aku harus mengandalkan diriku sendiri, aku tidak boleh hanya mengandalkan mereka, menuruti kata-kata mereka begitu saja, aku ini orang yang merdeka".
"ya..... aku harus bergerak".
"aku harus bangun dari buaian mimpi ini, aku harus bangun".
"kini sudah saatnya aku sadar bahwa kamu harus menolong dirimu sendiri".
"kamu harus menjadi tuan atas dirimu sendiri"
suara-suara sumbang itu terus saja memenuhi setiap relung otakku, bergema disetiap sudut telingaku.
"aku harus sadar, ketika makan saja aku tak mampu", air mata ini menetes dalam sendu, membasahi setiap celah kelopak mataku, dan aku adalah aku, bukan bayang-bayangmu.
0 komentar:
Posting Komentar