KEBEBASAN ATAU HUKUM DAN MORALITAS
M.H. Muaziz
Dalam tulisan saya kali ini akan sedikit mengarah pada nilai-nilai ambiguitas yang pada dasarnya merupakan sesuatu yang melatar belakangi pandangan saya antara hukum, kebebasan dan moralitas. Terdapat bebrapa pertanyaan kecil yang nampaknya tidak terlalu penting untuk diperdebatkan, karena maksud dan tujuan saya bukan untuk berdebat melainkan untuk mengajak sahabat-dan sahabati semua untuk berdiskusi mengenai hukum, kebebasan serta moralitas.
Yang pertama adalah, apakah perkembangan hukum dipengaruhi oleh nilai-nilai moralitas yang ada di dalam masyarakat?. hal ini lah yang seringkali menjadi diskusi mendasar pada kalangan mahasiswa-mahasiswa hukum, dengan jawaban yang mendasar pula ketika masyarakat ditanya dengan pertanyaan tersebut maka akan dengan cepat menjawab “ya”, namun jika pertanyaan tersebut dibalik, apakah perkembangan moralitas dipengaruhi oleh hukum?, maka jawaban yang keluar akan berbeda.
Ini adalah titik awal dari kritik yang dilontarkan oleh H.L.A. Hart dalam bukunya “Law Liberty And Morality”, merupakan suatu respon atas perdebatan yang dilakukan oleh dua kelompok yang menentang adanya pelanggaran-pelanggaran moralitas dengan melakukan penegakan hukum, serta pada kubu yang menjadikan kebebasan masyarakat sebagai acuan utama selama kebebasan tersebut tidak mengganggu kebebasan orag lain.
Dalam hal ini adalah perdebatan mengenai homo seksual serta lesbian, yang bagi masyarakat umum hal ini masuk dalam perilaku yang amoral sehingga perlu dicegah serta bagi pelakunya diberikan sangsi hukuman. Sedangkan bagi sebagain orang menganggap bahwa homo seksual adalah perilaku wajar yang tidak mengganggu kepentingan orang lain. --- Hal ini (homo seksual), akan menjadi sesuatu yang amat dikecam bagi orang yang beragama islam, namun harapan saya janganlah permasalahan ini hanya berhenti saja pada nilai-nilai religius semata, melainkan harus dikupas sebagai isu sosial karena memiliki hubungan denga masyarakat serta kebebasan untuk memilih ---.
Hukum dan moralitas seolah merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, (dalam hal ini bisa dicontohkan seperti soleh dan toni, sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan lagi dengan ikan emosional, cinta dan kasih saying antar keduanya). Meski demikian hukum dalam kaitanya dengan moralitas, terdapat suatu pengaruh besar bagi keduanya baik dalam penafsiran ataupun dalam penegakanya.
Hukum yang dibuat terkadang menjadi penekan atas suatu perilaku-perilaku sosial yang dianggap amoral oleh masayarakat dengan aturan serta sangsi-sangsi yang ada didalamnya. Kadangkala secara tertutup dan pelan melalui proses yudisial, kadang juga secara terbuka dan tergesa melalui legislasi. Hubungan-hubungan antara ilmu hukum dan nilai moral dapat dilihat dari aturan-aturan hukum yang ditujukan untuk memberikan pendidikan mpralitas bagi masyarakat seperti adanya larangan mencuri, membunuh, melakuka pemerkosaan dan lain sebagainya.
Merkipun terdapat pemisahan-pemisahan antara hukum dan moral, namun antara keduanya (hukum dan moral), berharap jika aturan-aturan hukum akan lebih seringt dipengaruhi oleh kepedulian-kepedulian moral. Hal sama juga ketika kita mempelajari hukum dan masyarakat dimana hukum memiliki hubungan yang erat dengan kelihupan serta pola-pola sosial dalam masyarakat. bahwa suatu pembicaraan dengan acara hukum dan masyarakat tidak dapat menghindarkan diri dari pembahasan tentang bagaimana hukum itu berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial diluarnya.
Kembali pada oembahasan mengenai hukum, kebebasan dan moralitas dalam determinologi Hart, bahwa perlindungan-perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap kebutuhan-kebutuhan seksualitas kelompok minor, juga diperlukan selama perilaku-perilaku yang dilakukan tersebut tidak mengganggu kepentingan-kepentingan orang lain.
Hukum yang berhubungan dengan masyarakat didalamnya terdapat nilai-nilai moralisme hukum dimana moralisme hukum ini dapat digunakan untuk memposisikan hukum agar tidak hanya dipandag kaku serta kejam dan memaksa, tanpa memiliki nilai-nilai yang humanis. Dalam hal seksualitas, moralisme huku memiliki kaitan dalam kapasitas yudisial dan pernyataan-pernyataan ekstra yudisial mereka, telah keluar dari cara mereka mengekspresikan pandagan bahwa penegakan moralitas seksual merupakan bagian tepat dari urusan hukum.
Nilai moral sering diartikan sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, keadilan sosial. Jika hal ini diterapkan secara kaku pada aturan-aturan hukum, maka salah satu pihak yang terkena dampak dari penegakan hukum tersebut adalah kaum minoritas yang memiliki gaya hubungan seksualitas yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.
Meskipun salah satu fungsi dari hukum ---hukum pidana--- sebagaimana yang kita lihat adalh untuk menjaga keteraturan dan kesusilaan umum, untuk melindungi warga dari apa yang disebut sebagai yang asusila atau yang merugikan dan untuk memberikan perlindungan atas eksploitasi atau korupsi dari pihak lain, kususnya bagi mereka yang masih lemah dan lain sebagainya. Dengan adanya pemahaman hukum tersebut dalam hal seksualitas maka untuk memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan, maka penekanan terhadap perilaku-perilaku seksualitas serta prostitusi yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan harus di hilangkan.
Salah satu tujuan dari diberlakukanya aturan-aturan tersebut adalah untuk melindungi masyarakat, nah dalam hal ini bagaimana dengan prostitusi yang dilakukan secara diam-diam namun memiliki jaringan luas di dalamnya, serta bagaimana perilaku seksualitas dari kelompok-kelompok tertentu dapat dilindungi, meskipun perilaku tersebut tidak mengganggu orang lain (seperti homo seksual dan lesbian).
Moralitas Positif dan Moralitas Kritis
Perbedaan pandangan ini dengan tegas memiliki tujuan yang dapat dijelaskan secara riil dan pasti, bahwa penegakan nilai-nilai moralitas memiliki kaitan terhadap kehidupan masyarakat, hal ini menjadi suatu jawaban yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan atas perbedaan-perbedaan persepsi masyarakat atas moralitas yang ada, meskipun akan sulit mendapatkan jawaban konkret atas perbadaan pandangan tersebut.
Moralitas sepenuhnya dianggap benar dan patut untuk ditegakkan, dengan sanksi hukum, sesuai dengan moralitas yang diterima di masyarakat. gambaran umum tentang hukum yang ada dalam masyarakat diharapkan menjadikan masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai mpralitas dalam kehidupanya.
Diperluka konsep kuhum yang berbeda agar dapat ditegakkan dalam struktur masyarakat yang berbeda pula, dengan kata lain terdapat salah satu titik yang masih terjadi tarik menarik antara hukum dan morlitas. Apakah masyarakat mempunyai “hak” untuk menegakkan moralitas, atau apakah setiap masyarakat diperbolehkan secara moral untuk menegakkan moralitasnya dengan hukum. Dari sini terdapat kerancuhan yang akan muncul jika dipahami bahwa hukum digunakan untuk menegakkan moralitas, karena akan terjadi semacam pemaksaan kehendak bagi masyarakat dalam menentukan pilihan atas hidupnya.
Dapat dibedakan pula bahwa moralitas itu sendiri dapat dibedakan menjadi bagian-bagian yang lebih mengerucut lagi. Menurut Hart, moral dapat dibagi lagikedalam dua bagian yaitu moralitas positif dan “moralitas kritis”. Moralitas positif merupakan moralitas yang diterima oleh kelompok-kelompok sosial dan dibagi oleh kelompok-kelompok sosial yang disepakati. Dalam hal ini adalah masyarakat secara luas yang telh menganggap moral tersebut mrupakan sesuatu yang lazim dan memang sepantasnya dilakukan, seperti belajar mengaji, bersetubuh dengan wanita (istri), facebook-an, camfrog, dan lain sebagainya. Sedangkan moralitas kritis juga termasuk dalam prinsip-prinsip moral umum yang digunakan dalam kritik untuk institusi sosial actual termasuk moralitas positif, hal hal yang terdapat dalam moralitas kritis ini cenderung memiliki sikap kritik terhadap kemapanan moralitas positif maupun pada institusi-institusi masyarakat yang telah ada. Hart mencontohkan bahwa moralitas kritis ini didalamnya termasuk perilaku seksual yang seringkali dianggap tak lazim, meskipun hal tersebut dilakukan secara diam-dam dan tak mengganggu kepentingan masyrakat.
Disinilah hukum mendapatkan peran dalam menciptakan keteraturan dalam penegakan moralitas tersebut. Bagi kaum homoseksual misalnya, meskipun tidak ada aturan secara riil yang menyakan bahwa homoseksual merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum, namun hukum dipaksa diterapkan untuk memberikan tekanan kepada kelompok-kelompok inor tersebut untuk tetap mentaati hukum. Hukum berkaitan dengan mereka-mereka yang mungkin tak pernah melanggar hukum, tetapi dipaksa patuh dibawah ancaman sanksi hukum.
Inilah yang menjadikan hukum seolah-oleh menjadi sesuatu yang kaku dan memaksa tanpa memperhatikan kebebasan-kebebasan masyarakat. dalm bukunya yang lain, Hart huga menyebutkan bahwa “mereka bersikukuh bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa diterima sebagai bagian dari moralitas kecuali bila hal itu lolos dari kritik rasional menurut sudut pandang kepentingan-kepentingan manusia, dan erbukti untuk memajukan kepantingan tersebut (mungkin dengan cara tertentu yang adil dan setara). Nah permasalahan yang seringkali muncul dari diterapkanya hukum sebagai suatu aturan adalah perbedaan pandangan mengenai moral dalam suatu masyarakat, dimana pendangan antara masyarakat yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Contohnya saja jika di sini (jawa) seorang wanita hanya memakai BH dan berjalan di pinggir jalan sambil mendengarkan music atau sedangan bersantai di pantai maron, hal itu sudah dianggap amoral, namun hal tersebut akan berbeda pula pada masayarakat di bali (daerah dream land) yang menganggap wanita memakai BH merupakan suatu ha yang biasa dan wajar-wajar saja, ya… kalau saya melihat hal tersebut ya menganggap kalau hal tersebut biasa-biasa saja, kurang hot malahan.
Kembali kedalam permasalahan perdebatan moralitas dalam masyarakat, Hart menjelaskan bahwa intervensi terhadap kebebasan individu bisa dianggap sebagai sebuah kejahatan yang berdasar pada pebenaran yang lebih sederhana, yakni nalar utilitarian; karena intervensi terhadap kebebasan berarti penderitaan dengan bentuk kesakitan kusus --- seringkali akut--- bagi mereka yang memendam birahi yang dibikin frustasi oleh ancaman hukuman. Jika kita menghubungkan antara kebebasan, hukum dan moralitas, maka hingga tulisan Hart dipublikasikan maka masih tetap saja terdapat tarik menarik pendapat, baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang pro terhadap kebebasan maupun kelompok masyarakat yang peduli terhadap moralitas public dan menyingkirkan pemikiran-pemikiran minoritas.
Sebagai kesimpulan mendasar dari perdebatan pemikiran tersebut, sejak awal bahwa siapapun yang menganggap pertanyaan ini terbuka bagi diskusi, otomatis menerima prinsip kritis, pusat bagi segala moralitas, bahwa kesengsaraan manusia dan pembatasan kebebasan itu buruk; itulah alasanya mengapa penegakan hukum terhadap moralitas membutuhkan pembenaran.
------------------------------------------------- mari berdiskusi-------------------------------
0 komentar:
Posting Komentar