Pendidikan tinggi hukum dewasa ini banyak didominasi oleh pengajaran hafalan undang-undang atau doktrinal (Satjipto Rahardjo: 2010). Padahal sejak awal berdirinya, pada tanggal 26 Juni 1909 sekolah hukum Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundingen atau Rechtschool oleh Gubernur Jenderal van Heutz, diharapkan mampu memperjuangkan keadilan bagi pribumi.
Hari ini, kurikulum pendidikan tinggi hukum di beberapa kampus negeri cukup padat dengan pelajaran hukum dalam buku (law in book) bukan hukum dalam tindakan (law in action). Memasukan mata kuliah tentang bantuan hukum bagi masyarakat miskin akan menambah beban susunan kurikulum yang tidak sederhana. Sebab dosen-dosen memandang mata kuliah seperti ‘ladang makan’ yang perlu dipertahankan maupun diperluas, soal subtansi dan keluaran mata kuliah banyak berupa formalitas sistem belajar mengajar saja.
Sistem peraturan kurikulum, seperti UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, PP No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) Kepmendiknas No. 232/U/2000 dan Kepmendiknas No. 045/U/2002, sepertinya lahir bukan dalam kesadaran kebijakan yang berpihak pada yang miskin.
Bantuan hukum terhadap masyarakat miskin harusnya diajarkan dalam perguruan tinggi, sebab dengan modal pengetahuan yang cukup, kecintaan mahasiswa pada aktivisme pro-bono tumbuh sejak dari dini. Padahal perguruan tinggi adalah domain yang paling tepat mengembangkan konsep teoritis bantuan hukum bagi masyarakat miskin.
Pendidikan tinggi hukum juga memiliki andil besar dalam mencetak generasi masa depan para pemikir dan aktivis hukum yang handal. Pada umumnya dalam tradisi pendidikan tinggi hukum mahasiswa dikenalkan dengan sejumlah teori, dogma atau doktrin sebagai proposisi general yang berlaku di dunia hukum.
Gilirannya, mereka akan membutuhkan keterampilan praktis, repetisi kapasitas organisasi, manajemen advokasi yang baik. Pada titik inilah, pendidikan tinggi hukum bagi Mark Spiegel percaya bahwa antara metode studi kasus, pendidikan hukum klinis, dan realisme hukum memiliki kesamaan, yakni hendak mendekatkan diri dengan hal yang empiris dan faktual.
Dengan bekal pengalaman di dunia praktek yang cukup, mahasiswa tidak gugup saat berhadapan dengan lingkup dunia kerja hukum nantinya.
Susunan kurikulum pendidikan tinggi hukum masih menyisakan banyak persoalan. Beberapa perguruan tinggi sudah memulai mengadopsi pendidikan anti-korupsi sebagai salah satu mata kuliah wajib mahasiswanya. Namun juga tidak sedikit mereka yang menyatakan bahwa materi itu sudah terpelajari pada matakuliah hukum pidana. Apalagi materi bantuan hukum di Indonesia yang baru ramai diperbincangkan dalam diskursus hukum nasional pada tahun belakangan ini.
Perlu mendapatkan perhatian khusus melalui promosi dalam rapat-rapat Badan Kerjasama (BKS) Fakultas Hukum se-Indonesia maupun anjuran afirmatif dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, supaya materi bantuan hukum bagi masyarakat miskin bisa tersebar menjadi sebuah kesadaran reformasi kurikulum.
Di beberapa perguruan tinggi terkenal, aktivitas bantuan hukum nampak begitu progresif dengan program kegiatannya yang tersistematisasi dengan baik. Misalnya di Yale Law School, mereka memiliki sebuah biro hukum yang bernama Jerome N. Frank Legal Service Organization (LSO) yang menghubungkan mahasiswa hukum dengan praktek dunia hukum. Klinik hukum itu memiliki banyak sub-kegiatan seperti Sol and Lillian Goldman Family, Advocacy for Children and Youth Clinic, yang mengerjakan program seputar isu bantuan hukum terhadap peradilan anak, kenakalan anak, masalah pencabulan, anak jalanan, dst.
Kemudian mereka mempunyai Samuel Jacobs Criminal Justice Clinic, yakni bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang sedang tertimpa kasus kriminal di peradilan federal. Banyak kegiatan yang diperlihatkan sebuah klinik hukum di bawah perguruan tinggi itu, seperti pelayanan hukum imigran, pendampingan hukum bagi masyarakat sipil, advokasi legislasi, dst.
Begitu juga saat kita melihat Oxford Pro Bono Publico dari Fakultas Hukum Universitas Oxford yang malah tak hanya menyediakan jasa layanan bantuan hukum bagi masyarakat sekitarnya, tetapi juga terlibat dalam diskursus isu internasional seperti penyusunan an expert opinion untuk kasus di Israel, masalah penjara Guantanamo, dan homoseksual di Peradilan Federal Amerika. Dari sinilah, doktrin umum yang dipelajari di ruang kelas bisa dieksperimenkan dalam dunia praktek hukum oleh para mahasiswa.
0 komentar:
Posting Komentar