Minggu, 21 Agustus 2016

Sekali Lagi, Hanya Lamunan


"Sudahlah nyo jangan dipikirkan, mereka ingin anaknya hidup ,apan, dengan calon yang sudah mereka siapkan, jadi kenapa kamu harus sedih"


"Bukan seperti itu ma, aku hanya ingin menjalani hidup ini dengan orang yang aku sayang, bukankah aku menjalani hidup dengan dia sudah sewindu, dan selama ini tidak pernah ada masalah ataupun konflik apapun, bahkan aku merasakan bahwa keluarga dia juga selalu mendukung apa yang aku dan dia lakukan",


"Masalahnya bukan itu nyo, tidakkah kamu mengaca akan diri dan hidupmu sekarang ini?"


Perkatan itu seakan mengingatkan aku dengan tulisan yang mereka kirimkan pada anaknya, "mamah cuma ingin kamu hidup bahagia, kecukupan, tidak lagi disibukkan dengan urusan harta, hidupmu sudah tertata, dan kamu hanya perlu memikirkan ibadah lepada Tuhan", kata-kata itu benar-benar menusuk hatiku.


"Ma, apakah aku salah jika aku suka dan sayang pada seseorang, apa aku salah jika aku terlahir dari keluarga yang sederhana", sahutku pada wanita setengah abad itu?


"Tidak, tidak ada yang salah", jawabnya.


"Lalu kenapa? Setelah 4 tahun berlalu, kenapa baru sekarang mereka ngomong seperti ini" sahutku dengan nada penuh kecewa. 


"Sudahlah, setidaknya kamu adalah orang yang berpendidikan, bukankah orang berpendidikan harus berlaku adil sejak dalam pikiran...?" Jawab wanita itu sambil tersenyum.


"Justru karena itu ma aku bertanya dalam hatiku, sungguh tak adil, tak masuk akal, setelah berjalan selama ini, mereka bilang bahwa aku terlalu jauh, keluargaku belum  tentu mau, bagaimana dengan masa depanmu, dan kata-kata dusta yang lain. Kenapa mereka tidak langsung saja berterus terang kalau aku, kurang kaya, aku tidak begelimang harta, aku bukan anak tunggal yang punya bayank warisan, dan aku bukanlah seorang lurah yang punya jabatan tinggi, kenapa tidak langsung saja berterusterang akan hal itu".


"Sudahlah nyo, meskipun tidak sedarah denganmu, orang itu tetap saja bagaikan ibu untukmu".


"Iya ma, memang saat ini ilmu itu bukan suatu hal yang penting, orang lebih memilih harta, tahta, warisan berlimpah daripada harus mengejar ilmu pengetahuan".


"Nyo, janganlah kamu berfikir seperti itu, setidaknya kamu sudah berusaha dengan baik, apapun yang terjadi kamu tidak boleh menyesal, karena kamu telah berusaha".

Aku dan Otakku


"sudah lah nyo, kamu jangan terus-terusan merenung seperti itu", seru wanita setengah baya itu kepadaku.
"tidak ma, aku tidak lagi murung sebagaimana hari kemarin. aku cuma mencoba menyadarkan otak dan pikiranku, bahwa aku harus terus berusaha", jawabku kepada ibuku, wanita yang selalu memberi aku semangat, meski kehidupan keluargakupun juga tidak begitu baik.
"lalu, kenapa kamu masih saja murung, dan memandangi gambar itu terus menerus".
"aku hanya iri ma, iri karena aku belum bisa seperti mereka, bukan berarti aku iri lantas menjadi dengki, bukan, rasanya dalam diriku ini ingin berintak, aku tak ingin terus menerus diam seperti ini'.
"lantas kalau kamu iri dengan mereka, maka bangunlah, jangan hanya terdiam terpaku hanya pada gambar itu?"
"aku ingin bergerak ma, aku ingin melangkah bebasa, tapi kata-kata yang dulu itu masih terus ternyiang ditelingaku, kata-kata bahwa aku harus selalu menurut, selalu patuh, aku tak boleh berontak, ucapan-ucaoan manis itu selelu ternyiang ditelingaku"
"nyo, jika kamu masih memikirkan hal itu, maka selamanya kamu akan seperti ini, kamu akan selalu terjajah, bukankah bangsa ini sudah merdeka?".
tatapan ibuku semakin tajam seakan menusuk tepat di jantungku. Sejenak aku berfikir, benar juga apa yang dikatakan oleh ibuku, wanita yang setiap hari memeras keringat untuk menghidupiku.
***
"ah, itu hanya bayanganku, lagipula saat ini aku sedang berada di tempat yang sangat jauh darinya" dalam hati aku berkata.
"tapi, aku tak bisa menerimanya begitu saja, gambar ini memberikan aku kesadaran bahwa aku harus berusaha, aku harus mengandalkan diriku sendiri, aku tidak boleh hanya mengandalkan mereka, menuruti kata-kata mereka begitu saja, aku ini orang yang merdeka".
"ya..... aku harus bergerak".
"aku harus bangun dari buaian mimpi ini, aku harus bangun".
"kini sudah saatnya aku sadar bahwa kamu harus menolong dirimu sendiri".
"kamu harus menjadi tuan atas dirimu sendiri"
suara-suara sumbang itu terus saja memenuhi setiap relung otakku, bergema disetiap sudut telingaku.
"aku harus sadar, ketika makan saja aku tak mampu", air mata ini menetes dalam sendu, membasahi setiap celah kelopak mataku, dan aku adalah aku, bukan bayang-bayangmu.

Jumat, 19 Agustus 2016

Menelisik ke "LEBAY" an Kasus Kopi Sianida


Sudah hampir 1 tahun ini publik Indonesia Raya yang gegap gempita dan baru saja ulang tahun yang ke-71, kembali di jejali berita-berita yang menurut saya terkesan lebay. lho kok bisa lebay?
Ya, sangat jebay dan bahkan menjenuhkan, mengapa tidak seorang cewek yang minum kopi dan di dalam kopi tersebut dicampur dengan sianida, hingga akhirnya cewek tersebut tewas. Sudah, sebenarnya kasusnya kan cuma itu saja.
Kenapa bisa menjadi lebay?
Ya lebay, terlebih hampir semua stasiun televisi di negeri ini beramai-ramai dan berjamaah sahut menyahut menyiarkan kasus tersebut tanpa memiliki perhitungan selera penonton. Bahkan dari pertama kali kasus ini mencuat di layar kaca, televisi selalu menyiarkanya, lha apa nggak capek nyiarkan acara itu terus-terusa?. Apa stasiun televisi tersebut sudah tidak memiliki acara yang bisa di jual, kok harus menyiarkan acara itu terus?
Menurutku, kasus tersebut adalah kasus yang biasa-biasa saja, dimana ada pembunuhan yang sebelumnya telah direncanakan (pembunuhan berencana), dan yang diduga melakukan pembunuhan tersebut adalah mbak ayu Jesica Wongso. Terus menariknya dimana?
Ya, mbuh wallahu aklam bissawab....
Emangnya nggak bisa ya kasus tersebut tidak melulu ditayangkan terus-terusan, bahkan ketika sidang saja disiarkan secara live. Apa nggak bosen? toh itu juga cuma menyangkut nasip 1 orang, ya paling banter 2 keluarga lah, keluarga pelaku dan keluarga korban. Tapi, tetap saja pemberitaan tentang kasus tersebut lebay.
Kita bandingkan dengan suatu kasus yang hingga saat ini masih berjalan dan menyangkut nasip rakyat banyak dan dengan cakupan lebih luas daripada kasus kopi josh sianida tersebut. Pertama, kasus penolakan ibu-ibu petani dipegunungan kendeng yang sudah lebih dari 2 tahun harus tidur di tenda penolakan, karena tanah dan lahan pertanianya terancam diserobot oleh perusahaan semen. Kenapa kasus tersebut tidak di blow up oleh media terus-terusan seperti kasus kopi sianida ini, bahkan media justru terkesan acuh. Kedua, kasus reklamasi pantai utara Jakarta, berapa ratus kepala keluarga saja yang menjadi korban dari rencana reklamasi tersebut, kenapa tidak di angkat oleh media terus-terusan. Atau kabar tentang saudara-saudara kita di Papua sana yang baru saja menjadi korban kerusuhan tepatnya di jalan waena kawasan abepura sana, kenapa itu tidak juga diangkat oleh televisi, sehingga saudara kita yang di ujung sana bisa merasakan kalau kesedihan yang mereka alami juga dapat dirasakan oleh masyarakay Indonesia secara keseluruhan.
Apakah negeri ini hanya selebar cangkir kopi dan nurani media masa kita hanya sedalam cangkir kopi?

Senin, 15 Agustus 2016

Pendidikan Tinggi Hukum: Sebuah Pengantar


Pendidikan tinggi hukum dewasa ini banyak didominasi oleh pengajaran hafalan undang-undang atau doktrinal (Satjipto Rahardjo: 2010). Padahal sejak awal berdirinya, pada tanggal 26 Juni 1909 sekolah hukum Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundingen atau Rechtschool oleh Gubernur Jenderal van Heutz, diharapkan mampu memperjuangkan keadilan bagi pribumi.

Hari ini, kurikulum pendidikan tinggi hukum di beberapa kampus negeri cukup padat dengan pelajaran hukum dalam buku (law in book) bukan hukum dalam tindakan (law in action). Memasukan mata kuliah tentang bantuan hukum bagi masyarakat miskin akan menambah beban susunan kurikulum yang tidak sederhana. Sebab dosen-dosen memandang mata kuliah seperti ‘ladang makan’ yang perlu dipertahankan maupun diperluas, soal subtansi dan keluaran mata kuliah banyak berupa formalitas sistem belajar mengajar saja. 

Sistem peraturan kurikulum, seperti UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, PP No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) Kepmendiknas No. 232/U/2000 dan Kepmendiknas No. 045/U/2002, sepertinya lahir bukan dalam kesadaran kebijakan yang berpihak pada yang miskin.

Bantuan hukum terhadap masyarakat miskin harusnya diajarkan dalam perguruan tinggi, sebab dengan modal pengetahuan yang cukup, kecintaan mahasiswa pada aktivisme pro-bono tumbuh sejak dari dini. Padahal perguruan tinggi adalah domain yang paling tepat mengembangkan konsep teoritis bantuan hukum bagi masyarakat miskin. 

Pendidikan tinggi hukum juga memiliki andil besar dalam mencetak generasi masa depan para pemikir dan aktivis hukum yang handal. Pada umumnya dalam tradisi pendidikan tinggi hukum mahasiswa dikenalkan dengan sejumlah teori, dogma atau doktrin sebagai proposisi general yang berlaku di dunia hukum. 

Gilirannya, mereka akan membutuhkan keterampilan praktis, repetisi kapasitas organisasi, manajemen advokasi yang baik. Pada titik inilah, pendidikan tinggi hukum bagi Mark Spiegel percaya bahwa antara metode studi kasus, pendidikan hukum klinis, dan realisme hukum memiliki kesamaan, yakni hendak mendekatkan diri dengan hal yang empiris dan faktual.

Dengan bekal pengalaman di dunia praktek yang cukup, mahasiswa tidak gugup saat berhadapan dengan lingkup dunia kerja hukum nantinya.

Susunan kurikulum pendidikan tinggi hukum masih menyisakan banyak persoalan. Beberapa perguruan tinggi sudah memulai mengadopsi pendidikan anti-korupsi sebagai salah satu mata kuliah wajib mahasiswanya. Namun juga tidak sedikit mereka yang menyatakan bahwa materi itu sudah terpelajari pada matakuliah hukum pidana. Apalagi materi bantuan hukum di Indonesia yang baru ramai diperbincangkan dalam diskursus hukum nasional pada tahun belakangan ini. 

Perlu mendapatkan perhatian khusus melalui promosi dalam rapat-rapat Badan Kerjasama (BKS) Fakultas Hukum se-Indonesia maupun anjuran afirmatif dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, supaya materi bantuan hukum bagi masyarakat miskin bisa tersebar menjadi sebuah kesadaran reformasi kurikulum.

Di beberapa perguruan tinggi terkenal, aktivitas bantuan hukum nampak begitu progresif dengan program kegiatannya yang tersistematisasi dengan baik. Misalnya di Yale Law School, mereka memiliki sebuah biro hukum yang bernama Jerome N. Frank Legal Service Organization (LSO) yang menghubungkan mahasiswa hukum dengan praktek dunia hukum. Klinik hukum itu memiliki banyak sub-kegiatan seperti Sol and Lillian Goldman Family, Advocacy for Children and Youth Clinic, yang mengerjakan program seputar isu bantuan hukum terhadap peradilan anak, kenakalan anak, masalah pencabulan, anak jalanan, dst. 

Kemudian mereka mempunyai Samuel Jacobs Criminal Justice Clinic, yakni bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang sedang tertimpa kasus kriminal di peradilan federal. Banyak kegiatan yang diperlihatkan sebuah klinik hukum di bawah perguruan tinggi itu, seperti pelayanan hukum imigran, pendampingan hukum bagi masyarakat sipil, advokasi legislasi, dst. 

Begitu juga saat kita melihat Oxford Pro Bono Publico dari Fakultas Hukum Universitas Oxford yang malah tak hanya menyediakan jasa layanan bantuan hukum bagi masyarakat sekitarnya, tetapi juga terlibat dalam diskursus isu internasional seperti penyusunan an expert opinion untuk kasus di Israel, masalah penjara Guantanamo, dan homoseksual di Peradilan Federal Amerika. Dari sinilah, doktrin umum yang dipelajari di ruang kelas bisa dieksperimenkan dalam dunia praktek hukum oleh para mahasiswa.

Generasi Setengah Menengah: Apa, Siapa dan Mengapa?


Generasi setengah menengah, nampaknya kata-kata ini masih asing buat kita. ya... wajar, bagi sebagian orang yang memang sudah cukup populer adalah generasi 45, generasi 60an, generasi 90an, atau generasi milenium. Sedangkan banyak juga orang yang memang sudah mengenal beberapa golongan yang ada di dalam masyarakat beberapa diantaranya yaitu golongan marjinal, golongan kelas rendah, orang-orang kelas menengah, dan tentu orang-orang golongan atas (biasanya orang golongan atas ini ditandai dengan penghasilan mereka yang besar, kehidupan glamor, bakaian yang mahal, mobil mewah atau bahkan istri lebih dari 1 dengan beberapa orang selir di luar sana...
lhoooo....
Sedangkan untuk orang-orang kuliahan, yang cuka membaca dan berdiskusi masuk dimana?
Nah ini yang sangat menarik, para mahasiswa (entah apapun jurusan dan lokasi kuliahnya), meski tidak berpenghasilan atau para pasukan sarjana yang masih menganggur dan tidak berpenghasilan, mereka tidak dapat serta merta masuk di dalam golongan kelas bawah, ya..... kalau jaman dulu disebut dengan kaum sudra/pariya.
Lalu dimana posisi mereka?
Ini yang menjadi golongan yang sangat unik, mereka ingin dimasukan kedalam kelas rendah, tidak bisa alasanya mereka kuliah, mereka terpelajar. Lalu dimasukan kedalam kelas menengah, apa iya bisa?
Kelas menengah itu kalau menurut pandangan saya, ya orang yang sudah bekerja berpenghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dan masih memiliki kelebihan dari pendapatanya tersebut untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sedangkan mereka --golongan para sarjana atau magiter yang masih sibuk menganggur dan belum berpenghasilan pula-- tidak bisa juga kalau dimasukan kedalam kelas menengah, apalagi Kelas Atas disandingkan dengan mbak-mbak sosialita, ibu-ibu glamor, atau eksemmut-eksemmut, atau para jamaahnya om-om yang menggoda.
walaaaaah.... ya nggak masuk pakai banget.
Posisi mereka itu seperti berdiri di KRL diantara himpitan mbak-mbak kantoran yang sexy dan mamah muda yang Hot. Serba susah memang.
Begini kalau mereka digologkan kedalam "Golongan Setengah Menengah" saja bagaimana?
Lho, kok bisa? ya bisa, mereka orang-orang yang berpendidikan (walopun TA, SKRIPSI, TESIS, atau tugas-tugas yang lain entah siapa yang mengerjakan yang jelas mereka sudah pernah diwisuda), otomatis mereka memiliki gelar, otomatis tidak bisa dimasukan kedalam kelas sudra/pariya/rendahan.
Berikutnya, mau dimasukan kedalam kelas menengah. eeeeeeeeeeeeeee..... tunggu dulu, mereka tidak bekerja, masih nganggur, belum memiliki penghasilan, untuk mencukupi kebutuhanya saja masih empot-empotan, bahkan untuk beli rokok saja harus patungan, jelas banget kan tidak bisa masuk golongan menengah.
Lalu, Golongan Bawah tidak cocok, sedangkan untuk dimasukan kedalam kelas menengah, mereka belum mampu. Jadi ya kita buat saja klasifikasi golongan yang baru yaitu "Golongan Setengah Menengah", ya sama saja golongan magak kalau orang Tuban menyebutnya, atau golongan nanggung, gak jelas-gajelas ngunulah.
Untuk menemukan kelas Setengah Menengah ini cukup mudah, kalau kalian di semarang cari saja di sepanjang JL. Pahlawan, atau di Mall-mall, populasi mereka cukup banyak kok, kalau mereka di Mall ya paling cuma jalan-jalan saja (karena mau beli barang/pakaian, mereka belum mampu).
Yo seng sabar yo mbak, yo mas, urip pancen ngunukui.

15/08/2016 

Minggu, 14 Agustus 2016

Butir Hujan


Butir Hujan

Malam ini terasa sangat dingin
Bahkan anginpun terasa jahat menusuk diri
Lambaian dedaunan mengobarkan kerinduan
Malam begitu sepi
    Semakin sepi tanpa adanya senyumanmu
    Sayang diperantauan ini aku rindukan belaianmu
    Aku haus akan kasih sayangmu
    Senyumanu...
    Perhatianmu...
Dan semua kenangan manis yang kita jalani bersama

Fenomena GOLPUT "sintesa pemikiran Gus Dur"


Fenomena Golput “Sintesa Pemikiran Gus Dur”
hasan
Dalam suatu sistim pemerintahan dan demokrasi disetiap negara. Demokrasi di identikkan sebagai suatu gerakan moral yang didalamnya cenderung bersifat kenegaraan. Dalam beberapa literatur para ahli banyak memberikan acuan atau batasan-batasan tentang demokrasi itu sendiri seperti halnya Robert A. Dahl yang memberikan 5 kriteria tentang demokrasi;
1. Pejabat-pejabat yang dipilih oleh rakyat.
Para pejabat yang ada dalam pemerintahan dipilih langsung ataupun diwakilkan oleh wakil rakyat yang pada intinya proses pemilihan tersebut merupakan hasil interpretasi dari kehendak dan pemikiran rakyat.

2. Pemilu yang bebas, adil dan berkesinambungan.
Dalam pemilu ini rakyat diberikan kebebasan untuk menentukan pilihanya dalam memilih wakilnya di pemerintahan, dalam tahapan ini rakyat bebas dai interfensi pihak manapun, karena dalam pemilihan, hal itu merupakan rahasia setiap orang.

3. Kebebasan berekspresi.
Kebebasan untuk berekspresi ini saya asumsikan bahwa masyarakat diberikan kebebasan untuk mengekspresikan dirinya sebebas mungkin namun tidak bertentangan dengan etika dan moral yang ada di Indonesia.

4. Akses informasi yang terbuka luas.
Dalam masyarakat modern keterbukaan informasi merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi karena kebenasan untuk mendapat informasi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan bernegara, bahkan pemerintah telah membuat suatu lembaga sendiri yang berwenang menangani kasusu sengketa informasi.

5. Kebebasan berasosiasi.
Kebebasan bagi warga negara untuk ber asosiasi merupakan suatu kebutuhan yang sangat krusial bagi masyarakat untuk dapat dipenuhi. Karena sifat dasar manusia sebagai mahluk sosial maka manusia pasti membutuhkan orang lain dalam pemenuhan kebutuan hidupnya.
Secara etimologi, demokrasi (democratie) adalah bentuk pemerintahan atau kekuasaan negara yang tertinggi, dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke) rakyat (an) yang terhimpun melalui majelis yang dinamakan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (die gesamte staatsgewalt liegt allein bei der majelis) oleh kaena itu demokrasi sering digunakan sebagai gerakan awal untuk mewujudkan suatu sistim pemerintahan yang terbuka.
Dalam tulisan ini saya ingin mengajak teman-teman semua dari dasar demokrasi itulah mari kita tarik ke dalam suatu permasalahan yang sering keluar dalam suasana gempita pemilihan umum. Demokrasi dalam pemilu sering di identiikan sebagai suatu proses dimana rakyat diberikan sebuah kebebasan untukmemilih dan menentukan pilihannya di dalam pemilu.
Demokrasi yang di jalankan di indonesia hingga saat ini masih belum murni sebuah demokrasi yang liberal. Dalam sebuah demokrasi liberal demokrasi yang dilakukan terbebas dari campur tangan dan interfensi agama maupun lembaga yang ada.
Negara Demokrasi Liberal menegaskan bahwa urusan politik harus dibahas dan dilaksanakan di luar wilayah agama. Tetapi hal ini berbeda di Indonesia saat ini agama bisa dikatakan ikut campur dalam penentuan pilihan rakyat tersebut, contohnya saja MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang mengeluarkan fatwa bahwa golput itu adalah haram. Padahal dalam suatu sistim demokrasi rakyat diberikan hak untuk menetukan pilihannya untuk memilih, dan bisa dikatakan golput adalah salah satu pilihan yang di pilih oleh rakyat.
Jika ditinjau dari latar belakanganya, golput atau abstein terjadi karena banyak faktor, disini saya membagi golput yang dilakukan oleh masyarakat kedalam 5 faktor yaitu:
a. Sikap apatisme politik.
Sikap apatisme politik ini merupakan suatu sikap yang mana tidak memiliki perhatian atau tidak berminat terhadap orang, situasi atau gejala-gejala umum yang berkait dengan persoalan politik dan kelembagaanya.
b. Sinisme politik.
Sikap sinisme politik ini terjadi karena suatu prasangka yang ada dalam masyarakat terhadap sisitim dan mekanisme politik yang ada, termasuk di dalamnya orang-orang  terlibat dalam sisitim politik tersebut, sikap sinisme ini lebih mengarah kepada sikap curiga. Orang-orang yang memiliki sikap sinis tersebut biasanya cenderung memeiliki perspektif yang erbeda dari masyarakat pada umumnya, orang tersebut cenderung menganggap kalau politik adalah suatu hal yang kotor, dan rakyat selalu menjadi korban atas kebijakan dan kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di dalam lingkungan politik tersebut.
c. Alienasi.
yaitu suatu perasaan keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan, sehingga selalu menganggap segala suatu peraturan yang ada sebagai hal yag tidak adil dan selalu menguntungkan penguasa.
d. Sikap anomi.
Yaitu suatu perasaan kehilangan orientasi hidup , sehingga tak bermotifasi untuk mengembil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.
Dalam masyarakat yang maju manusia tidak, dari pengakuan terhadap keharusan sosial, secara suka rela melakukan apa yang harus dilakukan agar masyarakat dapat dipertahankan dan kesejahteraan umum ditingkatkan, tak ada yang bisa menuntun mereka ke jalan yang benar dengan muslihat atau tipu daya yang licik.  Oleh karena itu dalam masyarakat yang modern dan masyarakat yang terbuka masyarakat mulai memiliki pemikiran yang rasional dan cenderung untuk berfikir jauh kedepan dan lebih peka terhadap suatu proses perubahan sosial yang ada.
Pada hakikatnya tidak ada manusia maju yang tidak mau berpartisipasi dalam suatu pesta demokrasi. Setiap orang pasti ingin ikut serta dalam proses penentuan masa depan bangsanya melalui sebuah perta demokrasi yang melibatkan masyarakat secara langsung. Oleh karena itu golput bukanlah sebuah gerakan yang sepenuhnya tidak mau peduli terhadap masa depan bangsa. Disini saya memangdang kalau memilih golput haruslah memiliki suatu landasan dan latar belakang yang bisa dipertanggung jawabkan dan merupakan sikap kritis yang ada pada diri manusia.
Sebenarnya pilihan masyarakat untuk memilik golput bukanla tanpa suatu alasan yang kosong, melainkan mesyarakat mempunyai pandangan lain tentang pilihannya, banyak orang yang mau mengurus negara  dan lembaga sebenarnya disisi lain juga mempunyai pamrih. Mayoritas mereka mengincar suatu jabatan tersebut ingin dapat drajat, pangkat dan harta. Disini saya berani mengatakan omong kosong orang mau mengurus negara kalau dia tidak mau digaji. Atau mau ikutan gotong royong dalam membangun negara???? Kalupun itu ada orang yang memiliki pemikiran suka rela, gotong royong itupun jumlahnya sangat kecil.



Kebebasan Hukum dan Moralitas


KEBEBASAN ATAU HUKUM DAN MORALITAS
M.H. Muaziz
Dalam tulisan saya kali ini akan sedikit mengarah pada nilai-nilai ambiguitas yang pada dasarnya merupakan sesuatu yang melatar belakangi pandangan saya antara hukum, kebebasan dan moralitas. Terdapat bebrapa pertanyaan kecil yang nampaknya tidak terlalu penting untuk diperdebatkan, karena maksud dan tujuan saya bukan untuk berdebat melainkan untuk mengajak sahabat-dan sahabati semua untuk berdiskusi mengenai hukum, kebebasan serta moralitas.
Yang pertama adalah, apakah perkembangan hukum dipengaruhi oleh nilai-nilai moralitas yang ada di dalam masyarakat?. hal ini lah yang seringkali menjadi diskusi mendasar pada kalangan mahasiswa-mahasiswa hukum, dengan jawaban yang mendasar pula ketika masyarakat ditanya dengan pertanyaan tersebut maka akan dengan cepat menjawab “ya”, namun jika pertanyaan tersebut dibalik, apakah perkembangan moralitas dipengaruhi oleh hukum?, maka jawaban yang keluar akan berbeda.
Ini adalah titik awal dari kritik yang dilontarkan oleh H.L.A. Hart dalam bukunya “Law Liberty And Morality”, merupakan suatu respon atas perdebatan yang dilakukan oleh dua kelompok yang menentang adanya pelanggaran-pelanggaran moralitas dengan melakukan penegakan hukum, serta pada kubu yang menjadikan kebebasan masyarakat sebagai acuan utama selama kebebasan tersebut tidak mengganggu kebebasan orag lain.
Dalam hal ini adalah perdebatan mengenai homo seksual serta lesbian, yang bagi masyarakat umum hal ini masuk dalam perilaku yang amoral sehingga perlu dicegah serta bagi pelakunya diberikan sangsi hukuman. Sedangkan bagi sebagain orang menganggap bahwa homo seksual adalah perilaku wajar yang tidak mengganggu kepentingan orang lain. --- Hal ini (homo seksual), akan menjadi sesuatu yang amat dikecam bagi orang yang beragama islam, namun harapan saya janganlah permasalahan ini hanya berhenti saja pada nilai-nilai religius semata, melainkan harus dikupas sebagai isu sosial karena memiliki hubungan denga masyarakat serta kebebasan untuk memilih ---. 
Hukum dan moralitas seolah merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, (dalam hal ini bisa dicontohkan seperti soleh dan toni, sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan lagi dengan ikan emosional, cinta dan kasih saying antar keduanya). Meski demikian hukum dalam kaitanya dengan moralitas, terdapat suatu pengaruh besar bagi keduanya baik dalam penafsiran ataupun dalam penegakanya. 
Hukum yang dibuat terkadang menjadi penekan atas suatu perilaku-perilaku sosial yang dianggap amoral oleh masayarakat dengan aturan serta sangsi-sangsi yang ada didalamnya. Kadangkala secara tertutup dan pelan melalui proses yudisial, kadang juga secara terbuka dan tergesa melalui legislasi. Hubungan-hubungan antara ilmu hukum dan nilai moral dapat dilihat dari aturan-aturan hukum yang ditujukan untuk memberikan pendidikan mpralitas bagi masyarakat seperti adanya larangan mencuri, membunuh, melakuka pemerkosaan dan lain sebagainya. 
Merkipun terdapat pemisahan-pemisahan antara hukum dan moral, namun antara keduanya (hukum  dan moral), berharap jika aturan-aturan hukum akan lebih seringt dipengaruhi oleh kepedulian-kepedulian moral. Hal sama juga ketika kita mempelajari hukum dan masyarakat dimana hukum memiliki hubungan yang erat dengan kelihupan serta pola-pola sosial dalam masyarakat. bahwa suatu pembicaraan dengan acara hukum dan masyarakat tidak dapat menghindarkan diri dari pembahasan tentang bagaimana hukum itu berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial diluarnya.
Kembali pada oembahasan mengenai hukum, kebebasan dan moralitas dalam determinologi Hart, bahwa perlindungan-perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap kebutuhan-kebutuhan seksualitas kelompok minor, juga diperlukan selama perilaku-perilaku yang dilakukan tersebut tidak mengganggu kepentingan-kepentingan orang lain. 
Hukum yang berhubungan dengan masyarakat didalamnya terdapat nilai-nilai moralisme hukum dimana moralisme hukum ini dapat digunakan untuk memposisikan hukum agar tidak hanya dipandag kaku serta kejam dan memaksa, tanpa memiliki nilai-nilai yang humanis. Dalam hal seksualitas, moralisme huku memiliki kaitan dalam kapasitas yudisial dan pernyataan-pernyataan ekstra yudisial mereka, telah keluar dari cara mereka mengekspresikan pandagan bahwa penegakan moralitas seksual merupakan bagian tepat dari urusan hukum.
Nilai moral sering diartikan sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, keadilan sosial. Jika hal ini diterapkan secara kaku pada aturan-aturan hukum, maka salah satu pihak yang terkena dampak dari penegakan hukum tersebut adalah kaum minoritas yang memiliki gaya hubungan seksualitas yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.
Meskipun salah satu fungsi dari hukum ---hukum pidana--- sebagaimana yang kita lihat adalh untuk menjaga keteraturan dan kesusilaan umum, untuk melindungi warga dari apa yang disebut sebagai yang asusila  atau yang merugikan dan untuk memberikan perlindungan atas eksploitasi atau korupsi dari pihak lain, kususnya bagi mereka yang masih lemah dan lain sebagainya. Dengan adanya pemahaman hukum tersebut dalam hal seksualitas maka untuk memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan, maka penekanan terhadap perilaku-perilaku seksualitas serta prostitusi yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan harus di hilangkan.
Salah satu tujuan dari diberlakukanya aturan-aturan tersebut adalah untuk melindungi masyarakat, nah dalam hal ini bagaimana dengan prostitusi yang dilakukan secara diam-diam namun memiliki jaringan luas di dalamnya, serta bagaimana perilaku seksualitas dari kelompok-kelompok tertentu dapat dilindungi, meskipun perilaku tersebut tidak mengganggu orang lain (seperti homo seksual dan lesbian). 
Moralitas Positif dan Moralitas Kritis
Perbedaan pandangan ini dengan tegas memiliki tujuan yang dapat dijelaskan secara riil dan pasti, bahwa penegakan nilai-nilai moralitas memiliki kaitan terhadap kehidupan masyarakat, hal ini menjadi suatu jawaban yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan atas perbedaan-perbedaan persepsi masyarakat atas moralitas yang ada, meskipun akan sulit mendapatkan jawaban konkret atas perbadaan pandangan tersebut.
Moralitas sepenuhnya dianggap benar dan patut untuk ditegakkan, dengan sanksi hukum, sesuai dengan moralitas yang diterima di masyarakat. gambaran umum tentang hukum yang ada dalam masyarakat diharapkan menjadikan masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai mpralitas dalam kehidupanya.
Diperluka konsep kuhum yang berbeda agar dapat ditegakkan dalam  struktur masyarakat yang berbeda pula, dengan kata lain terdapat salah satu titik yang masih terjadi tarik menarik antara hukum dan morlitas. Apakah masyarakat mempunyai “hak” untuk menegakkan moralitas, atau apakah setiap masyarakat diperbolehkan secara moral untuk menegakkan moralitasnya dengan hukum. Dari sini terdapat kerancuhan yang akan muncul jika dipahami bahwa hukum digunakan untuk menegakkan moralitas, karena akan terjadi semacam pemaksaan kehendak bagi masyarakat dalam menentukan pilihan atas hidupnya.
Dapat dibedakan pula bahwa moralitas itu sendiri dapat dibedakan menjadi bagian-bagian yang lebih mengerucut lagi. Menurut Hart, moral dapat dibagi lagikedalam dua bagian yaitu moralitas positif dan “moralitas kritis”. Moralitas positif merupakan moralitas yang diterima oleh kelompok-kelompok sosial dan dibagi oleh kelompok-kelompok sosial yang disepakati. Dalam hal ini adalah masyarakat secara luas yang telh menganggap moral tersebut mrupakan sesuatu yang lazim dan memang sepantasnya dilakukan, seperti belajar mengaji, bersetubuh dengan wanita (istri), facebook-an, camfrog, dan lain sebagainya. Sedangkan moralitas kritis juga termasuk dalam prinsip-prinsip moral umum yang digunakan dalam kritik untuk institusi sosial actual termasuk moralitas positif, hal hal yang terdapat dalam moralitas kritis ini cenderung memiliki sikap kritik terhadap kemapanan moralitas positif maupun pada institusi-institusi masyarakat yang telah ada. Hart mencontohkan bahwa moralitas kritis ini didalamnya termasuk perilaku seksual yang seringkali dianggap tak lazim, meskipun hal tersebut dilakukan secara diam-dam dan tak mengganggu kepentingan masyrakat.
Disinilah hukum mendapatkan peran dalam menciptakan keteraturan dalam penegakan moralitas tersebut. Bagi kaum homoseksual misalnya, meskipun tidak ada aturan secara riil yang menyakan bahwa homoseksual merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum, namun hukum dipaksa diterapkan untuk memberikan tekanan kepada kelompok-kelompok inor tersebut untuk tetap mentaati hukum. Hukum berkaitan dengan mereka-mereka yang mungkin tak pernah melanggar hukum, tetapi dipaksa patuh dibawah ancaman sanksi hukum. 
Inilah yang menjadikan hukum seolah-oleh menjadi sesuatu yang kaku dan memaksa tanpa memperhatikan kebebasan-kebebasan masyarakat. dalm bukunya yang lain, Hart huga menyebutkan bahwa “mereka bersikukuh bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa diterima sebagai bagian dari moralitas kecuali bila hal itu lolos dari kritik rasional menurut sudut pandang kepentingan-kepentingan manusia, dan erbukti untuk memajukan kepantingan tersebut (mungkin dengan cara tertentu yang adil dan setara). Nah permasalahan yang seringkali muncul dari diterapkanya hukum sebagai suatu aturan adalah perbedaan pandangan mengenai moral dalam suatu masyarakat, dimana pendangan antara masyarakat yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Contohnya saja jika di sini (jawa) seorang wanita hanya memakai BH dan berjalan di pinggir jalan sambil mendengarkan music atau sedangan bersantai di pantai maron, hal itu sudah dianggap amoral, namun hal tersebut akan berbeda pula pada masayarakat di bali (daerah dream land) yang menganggap wanita  memakai BH merupakan suatu ha yang biasa dan wajar-wajar saja, ya… kalau saya melihat hal tersebut ya menganggap kalau hal tersebut biasa-biasa saja, kurang hot malahan.
Kembali kedalam permasalahan perdebatan moralitas dalam masyarakat, Hart menjelaskan bahwa intervensi terhadap kebebasan individu bisa dianggap sebagai sebuah kejahatan yang berdasar pada pebenaran yang lebih sederhana, yakni nalar utilitarian; karena intervensi terhadap kebebasan berarti penderitaan dengan bentuk kesakitan kusus --- seringkali akut--- bagi mereka yang memendam birahi yang dibikin frustasi oleh ancaman hukuman. Jika kita menghubungkan antara kebebasan, hukum dan moralitas, maka hingga tulisan Hart dipublikasikan maka masih tetap saja terdapat tarik menarik pendapat, baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang pro terhadap kebebasan maupun kelompok masyarakat yang peduli terhadap moralitas public dan menyingkirkan pemikiran-pemikiran minoritas.
Sebagai kesimpulan mendasar dari perdebatan pemikiran tersebut, sejak awal bahwa siapapun yang menganggap pertanyaan ini terbuka bagi diskusi, otomatis menerima prinsip kritis, pusat bagi segala moralitas, bahwa kesengsaraan manusia dan pembatasan kebebasan itu buruk; itulah alasanya mengapa penegakan hukum terhadap moralitas membutuhkan pembenaran.
------------------------------------------------- mari berdiskusi-------------------------------

Tuan Rumah



Identitas Diri

Nama lengkap saya Muhamad Hasan Muaziz.
Orang-orang biaya memanggil saya "Hasan", jika ditelaah lebih jauh, kata "Hasan' sendiri berasal dari dua bahasa yaitu Bahasa Jepang "Hansamu" dan Bahasa Inggris "Hansome". Saya sendiri juga tidak tahu kenapa orang tua saya memberi nama itu. Tanyakan saja kepada orang tua saya?

e-mail: hasanmuaziz@gmail.com

Pengalaman Akademik


  • Syukron Salam, Rian Adhivira, Unu Herlambang, Hasan Muaziz. Mendobrak Pendidikan Tinggi Hukum. Diterbitkan oleh Thafa Media & Satjipto Rahardjo Institute. Yogyakarta, 2015.
  • Editor, buku Ristina Yudanti, 2014, Perempuan Dalam Pusaran Hukum, Yogyakarta: Thafa media.
  • Muhamad Hasan, 2014, Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Jurnal Hukum Vol. XXIX No.1 Tahun 2014 Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
  • Sebagai Asisten Peneliti Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum Dalam Strategi Pengentasan Kemiskinan Melalui Hukum Sebagai Sarana Rekayasa Sosial (Studi Tentang Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Untuk Program Pengentasan Kemiskinan), Tahun 2014, Universitas Diponegoro.
  • D. Pengalaman Kepanitiaan
  • Notulen & Panitia Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia. Membangun Politik Hukum Sumber Daya Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia. Gedung Pascasarjana Undip Semarang. 15-16 April 2015.
  • Peserta & Panitia Focus Group Discussion Polemik Undang-Undang Pilkada. SRI & Perludem. Rumah Makan Singasari, 19 November 2014.
  • Notulen & Panitia Konsosium Hukum Progresif, Pendidikan Hukum dan Akses Terhadap Keadilan Dalam Perspektif Hukum Progresif, Satjipto Rahardjo Institute. Hotel Semesta Semarang 14-15 November 2014.
  • Peserta & Panitia Konferensi Ilmu Sosial Indonesia Baru: Tantangan dan Peran Ilmu-Ilmu Sosial, Hipiis & SRI. Audit FISIP Undip Semarang, 19-20 September 2014.
  • Peserta & Panitia Focus Group Discussion Evaluasi Pemilihan Presiden 2014 dan Pemutakhiran Daftar Pemilih. SRI & Perludem Hotel Novotel Semarang, 19 Agustus 2014.
  • Panitia dalam Workshop International Clinic of Legal Thought, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Universitas Stikubank, Komunitas Tjipian, Komunitas Payung, Permahi. 1-4 Juli 2014.
  • Peserta & Panitia Legal, Social and Governance Aspects of Pollution Issues in Indonesia: Discourse on ronmental Justice. SRI, Van Vollenhoven Institute & PDIL Undip. Gedung Pascasarjana Undip Semarang, 9-11 Juni 2014
  • Peserta & Panitia Focus Group Discussion Urgensi Kodifikasi Hukum Pemilu di Indonesia. SRI & Perludem, 6 Juni 2014.
  • Peserta & Panitia Focus Group Discussion Evaluasi DPT Pileg dan Rekomendasi Pemutakhiran DPT Pilpres. SRI & Perludem. Hotel Novotel Semarang, 20 Mei 2014.
  • Peserta dalam Seminar Hak Politik Warganegara Dalam Pemilihan Umum dan Demokrasi, Sebuah Pengantar dalam Pelatihan Pemilu Untuk Pemula diselenggarakan oleh Perludem dan SRI di Universitas Wahid Hasyim Semarang. 26 Maret 2014.
  • Notulen & Panitia Konsorsium Hukum Progresif , Dekonstruksi Pemikiran dan Gerakan Hukum Progresif, Satjipto Rahardjo Institute. Hotel Patra Jasa Semarang. 29-30 November 2013.
  • Notulen & Panitia Pelatihan Metodologi Penelitian Sosio-Legal. Epistema Institute, AFHI, ASHI, FH Undip di FH Undip Semarang, 10-11 Mei 2013.
  • Anggota survey Tingkat Kepatuhan Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah. Ombudsman Republik indonesia Jawa Tengah, 2013.
  • Notulen & Panitia Kongres Ilmu Hukum, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia. Hotel Graha Santika Semarang, 20-22 Oktober 2012.
  • Peserta dan Panitia, Lounching Buku MR. R.S. Budhyarto Marto Admojo Pejuang Kemerdekaan dan Pendidik Tiga Jaman, Aula Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 27 Juli 2016.

Kesibukan

  • Sekretaris di UKM CAKRA Universitas Negeri Semarang 2009-2012.
  • Asisten Peneliti di Satjipto Rahardjo Institute 2012-2015.
  • Peneliti di Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum 2016- Sekarang.
  • Masih sering ikut demo


Perlukah Idealisme?


Perlukah Idealisme itu?
"Nak, apakah kamu tidak ingin menjadi Guru saja?, kamu kan lulusan Sarjana pendidikan?, apakah tidak sayang ijasah mu, kalau kamu bekerja menjadi Tukang sapu seperti saat ini?", tanya bapak kepadaku.
"Tidak pak, aku tidak mau jadi Guru". jawabku.
"Kenapa, bukankah Guru itu profesi yang terhormat?, Bapak kembali menimpa tanya kepadaku.
"Pak, kalau saya jadi GURU, lalu siapa yang akan membayar cicilan bank, untuk biaya kuliahku dulu?, Bapak tau sendiri gaji guru berapa? 323.000 per bulan pak, uang segitu untuk bayar listrik dan air saja hanya lebih 73.000, belum beli beras, bumbu-bumbu dapur, minyak goreng dan bayar cicilan bank. Sudah jelas tidak cukup pak, kalau saya bekerja menjadi Guru". Jawabku lagi.
"Nak, mana idealisme mu saat kamu masih menjadi mahasiswa dulu, bukankah kamu dulu punya cita-cita menjadi seorang pengajar?" tanya Bapaku lagi.
Dengan wajah tertunduk aku menjawab pertanyaan itu, "Benar pak, dulu aku sangat ingin menjadi guru atau bahkan dosen. Tapi sekarang kebutuhan hidup tidak bisa aku elakan dan gaji seorang Guru sangatlah tidak cukup untuk hidup bahkan gaji 1 bulan untuk biaya hidup 2 minggu saja tidak cukup."
"Pak, biarlah aku menjadi tukang sapu di pasar seperti saat ini, toh aku juga bisa dapat gaji 1.700.000 tiap bulan, dan itupun aku bekerja hanya sampai jam 1 siang, jam 2 aku bisa jualan jus atau es di depan Pesantren sana, itu jauh lebih baik pak, daripada menjadi Guru". aku coba untuk menjelaskan kepada Bapak.
"Iya, nak apa yang kamu ucapkan itu benar, memang saat ini menjadi guru sangat memprihatinkan, maafkan Bapak ya nak, Bapak bukan orang kaya, Bapak tidak mampu mengantarkanmu untuk meraih cita-citamu" sahut Bapak ku.
"Sudah lah pak, aku sadar, aku bukanlah anak orang kaya, aku sadar pak, aku juga harus membayar cicilan utang Bank, untuk biaya kuliah ku dulu, jadi ijinkan aku bekerja menjadi apa saja asal aku bisa melunasi hutang di Bank itu, dan yang penting halal pak", kembali aku mencoba menenangkan bapak ku.
Sejenak aku tertunduk lesu, aku adalah seorang sarjana, jika aku bekerja menjadi Guru, aku tidak akan pernah mampu melunasi hutang-hutang keluargaku, kalau aku tetap menjaga idealisme, lalu APAKAH AKU AKAN MAKAN ITU YANG NAMANYA IDEALISME?
Tidak, aku makan nasi, lalu dari mana aku bisa dapat beras, ya.. KERJA bukan idealisme.
---dalam benaku aku bertanya, "Lantas untuk apa idealisme itu?"
"entahlah, mungkin idealisme itu hanya euforia ketika aku masih menjadi mahasiswa dulu".
>>>>Peraduan, 11/08/16

Efektivitas Mediasi Pada Sengketa Hubungan Industrial


Muhamad Hasan Muaziz. 2013. Efektivitas Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Studi Proses Mediasi Pada Balai Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Tenaga Kerja (BP3TK) Jawa Tengah. Program Studi Ilmu Hukum. Universitas Negeri Semarang.
Kata kunci : Efektivitas, Mediasi, Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan hubungan industrial yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha maupun Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) memiliki dampak yang besar bagi para pihak yang berselisih. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan di Balai Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Tenaga Kerja (BP3TK) Jawa Tengah. Permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini adalah : (1) Bagaimana fungsi Balai Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Tenaga Kerja (BP3TK) Jawa Tengah sebagai instansi penyelesaian perselisihan hubungan industrial? (2) Bagaimana efektivitas mediasi sebagai upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial di BP3TK?.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan Yuridis Sosiologis. Dengan teknik pengumpulan data yaitu: Observasi, Wawancara, dan Studi Pustaka.
Fungsi BP3TK telah dijalankan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini dapat dilihat dari adanya Rencana Kerja Tahunan (RKT), dan Laporan Kinerja. Mediasi yang dilakukan di BP3TK dapat berjalan efektif dalam menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial, hal ini terbukti dari 50 perkara yag diselesaikan dengan menggunakan mediasi, 35 perkara diantaranya dapat diselesaikan dengan Persetujuan Bersama (PB), atau 70% perselisihan yang diselesaikan dengan menggunakan mediasi berhasil dengan adanya Persetujuan Bersama (PB). Sedangkan 5 perkara atau 10% masih dalam proses, dan 10 perkara lagi atau 20% berakhir dengan anjuran. Penulis menyarankan: (1) Perlu terdapat Konsiliator dan Arbiter pada BP3TK, hal ini agar bisa memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat, selain itu juga sesuai dengan aturan yang ada pada perundang-undangan (UU No.2 Th 2004) yang memberikan pilihan bagi masyarakat untuk memilih dalam menggunakan cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang akan digunakan dalam perkaranya. (2) Sebaiknya dalam melakukan mediasi para pihak saling menghargai kepentingan bersama.

Konstitusi Indonesia Dimata Yamin


Konstitusi Indonesia Dimata Yamin
Setelah sebelumnya membahas tentang  perjuangan dan revolusi Indonesia, maka sudah tiba waktunya untuk melangkahkan kaki kedepan yaitu pada pembahasan menganai dasar hukum dalam Konstitusi. Yamin menjelaskan bahwa ketika konstitusi bangsa Indonesia dijabarkan, maka akan ditemukan beberapa poin yang sebenarnya telah tercantum di dalam Konstitusi Indonesia. Pertama, Kedaulatan Rakyat; Negara hukum; Bentukan republik; kesatuan; hak kemerdekaan dan hak asasi manusia.
Bagi Yamin, nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi tersebut merupakan suatu hal yang melakat, dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainya. Yamin sendiri banyak menyoroti konstitusi bangsa Indonesia baik berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945 maupun Konstitusi dasar RI 1950 atau dapat disebut dengan Konstitusi RIS.
Melihat pada Konstitusi RIS, dalam konsideranya disebutkan bahwa Negara Indonesia ini merupakan negara yang berbentuk repulik kesatuan yang diganti menjadi republik-federasi. Meski demikian, yang menjadi titik ukur bagi yamin bukanlah sekedar bentuk dari negara Republik Indonesia, melainkan nilai-nilai yang sebelumnya telah disebut diatas. Berpijak pada pandangan kedaulatan rakyat, bahwa sudah sejak lama, kedaulatan suatu negara berada ditangan rakyat, dan hal ini tentu tidak hanya ada di Indonesia saja, melainkan dibelahan bumi lain juga menjadikan rakyat sebagai tampuk kedaulatan tertinggi.
Menurut Yamin, kedaulatan tersebut memiliki tiga syarat yaitu “bulat”, dalam hal ini kedaulatan tidak dapat dipecah-pecah. “Asli”, keaslian disini dikarenakan kekuasaan tertinggi tersebut (kedaulatan rakyat), tidak dapat dicampur adukan dengan berbagai kepentingan maupun intervensi dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Selanjutnya yaitu “sempurna”, kesempurnaan tersebut yaitu tidak terbatas, karena tidak ada kekuatan lain yang lebih tinggi dari kedaulatan itu sendiri.
Lambat laun, kedaulatan ini tumbuh dan berkembang, dari sebelumnya kedaulatan berada di tangan raja dengan kekuasaan kerajaan yang ada, kemudian tumbuh menjadi kedaulatan negara. Yamin menjeaskan bahwa kedaulatan bernegara ini berhubungan dengan kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara lain, sehingga munculah istilah “negara berkedaulatan menurut hukum Internasional”.
Tidak hanya kedaulatan rakyat dan hukum Internasional saja, Yamin juga memberikan penjelasan cukup rinci terkait dengan negara berdaulat dan negara hukum. Bagi bangsa Indonesia, istilah negara hukum sebenarnya telah ada sejak Negara ini didirikan, dimana di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke-4 disebutkan bahwa, “Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara republik Indonesia”.
Bagi Yamin, apa yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 dengan jelas mengakui bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dengan menjadikan hukum sebagai panglima. Perkembangan politik yang ada di Indonesia telah menuliskan banyak pena sejarah perjalanan bangsa dan negara Indonesia. UUD 1945 kemudian diganti dengan UUDS (RIS) tahun 1950, namun hal tersebut tidak serta merta menjadikan negara Indonesia bubar, melainkan sebuah upaya pencarian bentuk konstitusi yang pas bagi negara Indonesia. Hal itu tidak lain juga karena adanya situasi politik yang berkembang saat ini, yang akhirnya berdampak pula terhadap sistim hukum (konstitusi) di Indonesia.
Bagi suatu negara, Konstitusi merupakan sebuah pondasi dalam menjalankan sistim dan roda pemerintahan, oleh karena itu Konstitusi harus dijaga dan dijadikan acuan dalam setiap pengambilan suatu kebijakan, sebagaimana UUD 1945 yang merupakan konstitusi bagi bangsa Indonesia, yang berdaulat dan memiliki kemerdekaan penuh dan sempurna.
Bagi bangsa Indonesia adanya kedaulatan ditangan rakyat dan konstitusi saja belum cukup untuk menciptakan suatu pemerintahan yang adil dan beradab. Oleh karena itu diperlukan aturan atau prinsip-prinsip dasar lainya untuk mengatur hal tersebut, salah satunya adalah Kesatuan “Unitarisme”, hal ini menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting terlebih negara Indonesia adalah negara kesatuan. Yamin menganggap bahwa Untarisme dalam suatu negara berarti membuang federalisme bernegara-bagian, hal ini tentu bertentangan dengan kontitusi RIS, meski demikian Yamin menganggap disatu sisi Untarisme juga dapat dipandang sebagai negara yang menghendaki persatuan dan kesatuan.
Kesatuan Indonesia, terlihat jelas dalam Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD 1945, dalam dua naskah dasar tersebut bangsa indonesia dengan jelas menyatakan bahwa adanya keinginan untuk membentuk suatu pemerintahan yang mampu “melindungi segenap bangsa”, tentu hal tersebut bertentangan dengan penjajahan dan penindasan yang telah lama dirasakan oleh bangsa Indonesia.
Selain empat poin pokok tersebut Yamin juga menjelaskan bahwa sebenarnya terdapat satu lagi nilai yang tidak dapat dipisahkan dari konstitusi Negara Indonesia, yaitu “hak asasi kemanusiaan”. Ini merupakan salah satu nilai terpenting yang tidak dapat dipisahkan dari adanya suatu negara yang telah merdeka dan berdaulat penuh atas wilayah dan rakyatnya. Hak asasi kemanusiaan di Indonesia sebagaimana yang ada di negara-negara lain juga diatur di dalam konstitusi negara, baik di dalam UUD 1945 maupun pada UUDS 1950. Oleh karena itu, bagi Yamin manusia yang merdeka di dalam Republik Indonesia diakui mendapat hak-persamaan terhadap undang-undang serta perlakuan dan perlindungan yang sama oleh undang-undang.
Maka jangan bilang kita sudah benar-benar menjadi negara yang menjunjung tinggi persatuan dan hak asasi kemanusiaan jika masih ada penindasan dibumi pertiwi, baik penindasan yang dilakukan oleh kekuatan asing maupun penindasan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau bangsa sendiri terhadap seluruh tumpah darah rakyat Indonesia.
Take a Beer......!!!

Merenung Bersama One Piece

Merenung Bersama One Piece

Saya masih ingat betul bagaimana pejalanan luffy dan teman-temanya untuk menjadi raja bajak laut. Pertama dia menemukan Zorro sebagai seorang ahli pedang, dan mengajak zorro untuk bergaungan dengan timnya (Bajak Laut Topi Jerami), setelah itu dia menemukan Usop, sebagai seorang penembak jitu, jenius dalam membuat alat-alat perang serta pembohong besar. Tidak hanya itu, berkat bantuan dari teman usop yang bernama Kaya, dia diberi sebuah kapal yang bernama “going merry go”. Perjalanan Luffy terus berlanjut, hingga akhirnya dia bertemu dengan Nami, seorang pencuri ulung sekaligus ahli navigasi.
Dari sini, satu persatu anggota Bajak Laut Topi Jerami terus bertambah, disusul oleh Sanji, sebagai seorang koki ahli, dan copper seorang dokter dikapal itu. Mereka terus berpetualang melewati kerasnya kehidupan di laut serta dengan musuh-musuh yang semakin lama semakin berat. Seiring berjalanya waktu, personil Bajak Laut Topi Jerami terus bertambah, ada tiga orang lagi (hingga saat ini) yang bergabung dengan Bajak Laut Topi Jerami, yaitu nio robin sang arkeolog, Franky sang Cyborg sekaligus  tukang kayu yang ahli membuat kapal, dan Brook seorang tengkorak hidup, pemusik serta cukup ahli dalam memainkan pedangnya.
Hari demi hari mereka lewati, hingga pada akhirnya mereka tiba di pulau Sabaody Archipelago, disanalah seuah pelajaran besar diterima oleh teman-teman Luffy. Ya.... Sebuah pelajaran yang sangat berharga, kenapa tidak!!! Ambisi Luffy untuk menjadi raja bajk laut tidaklah cukup jika hanya sebatas ambisi dan angan-angan saja, melainkan juga harus dibarengi dengan kekuatan dari setia anggotanya yang juga besar.
Di pulau Sabaody Archipelago, inilah menurut saya sebagai titik awal bagi siapapun juga jika memiliki angan-angan besar  maka dia harus berusaha sekeras mungkin.

Pertemuan dengan Kuma
Namanya adalah Kuma, seorang manusia (bisa juga disebut dengan “robot”), sekaligus sebagai salah satu anggota tersembuyi dari pasukan revolusi. Bagi Luffy dan teman-temanya, Kuma adalah sosok yang sangat kuat, dia mampu memindahkan orang dimana saja, ditempat yang dia suka.
Sebenarnya ada apa dengan Kuma?
Dari sinilah saya mencoba untuk meraba, pesan apa yang bisa saya ambil dari film One Piece ini. Berawal dari ambisi Luffy untuk menjadi seorang raja bajak laut. Tentu hal ini tidak dapat dia peroleh hanya dengan mengandalkan kekuatan dari dirinya sendiri. Sudah barang tentu dia juga membutuhkan kekuatan dan kerjasama dari teman-temanya.
Namun apa yang nantinya dihadapi oleh Luffy tentu bukanlah tandinganya jika hanya dengan kekuatan yang mereka miliki saat ini. Jangankan untuk menghadapi Pemerintah dunia atau Sengoku yang sebagai seorang admiral, ataupun menghadapi Do Flaminggo yang hanya seorang Shichibukai saja belum tentu Luffy menang (dengan kekuatan saat itu). Lalu bagaimana dengan Kuma?
Dalam cerita di pulau Sabaody Archipelago inilah Luffy bertemu dengan Kuma, dia melawan Kuma, namun apa yang terjadi, Kuma memisah-misahkan anggota Bajak Laut Topi Jerami. Zorro dibuang di pulai hantu dan bertemu dengan Mihawk yang seorang ahli pedang nomor wahid di dunia, bersama dengan Mihawk inilah nantinya Zoro menimba ilmu, sekaligus belajar Haki.
Nami dibuang di Pulau Langit Kecil, disinilah Nami bertemu dengan para Profesor yang sudah ahli dalam membuat awan dan manipulasi cuaca. Nico Robin dilempar disuatu tempat hingga akhirnya dia bertemu dengan pasukan Revolusi untuk selanjutnya dia belajar meningkatkan ilmu pengetahuan serta kekuatan yang dia miliki. Sanji dikirim ke Kerajaan Kamabakka, disana dia bertemu dengan para waria dan Ivankof dalam kondisi ini sanji terus-terusan dikejar oleh para waria, hingga akhirnya dia bisa belajar tendangan api dan dapat berlari di udara.
Berdeda tempat pula dengan Chopper, dia dibuang disebuah tempat dimana dia bisa mengembangakan kemampuanya dalam mengobati sekaligus membuat rumbbel ball yang memungkinkan dia untuk merubah wujudnya. Franky dibuang di pulau bersalju, disana dia belajar untuk memodifikasi dirinya menjadi lebih kuat hingga seperti saat ini. Usopp dibuang di pulau makanan, disitu dia juga berlatih menembak, berlari serta meningkatkan kekuatan yang dia miliki, termasuk meramu peluru yang dia gunakan di ketapelnya.
Sedangkan Brook, dia belajar dalam permainan musiknya hingga dia mampu menjadi artis terkenal dengan kemampuan yang terus meningkat. Lalu dimana Luffy?
Ya, Luffy juga dilempar di pulau perempuan yang bernama Amazon Lili, disitulah dia bertemu dengan Boa Hancok, dan tak kalah dengan teman-temanya, Luffy sebagai seorang kapten bajak laut, dia juga belajar. Dia belajar ilmu Haki dengan seorang ahli Haki nomor wahid yang sekaligus mantan anggota dari Gold D Roger (raja bajak laut). Sangat jelas disini, seluruh anggota Topi Jerami terpisah, dan semua anggotanya sama-sama belajar untuk meningkatkan kekuatan dan ilmu mereka, agar mampu dalam menghadapi musuk pada petualangan-petualangan berikutnya.
 Dalam hal ini tentu Luffy terpisah dengan semua anggota Krunya. Banyak hal yang mereka lakukan selama terpisah ini, hingga akhirnya setelah dua tahun mereka berpisah, mereka sepakat untuk saling bertemu kembali ditempat mereka dipisah-pisahkan yaitu pulau Sabaody Archipelago.
Waktu yang dinanti sudah tiba, dua tahun mereka telah berpisah, dan saat ini anggota mereka telah kembali ke pulau Sabaody Archipelago untuk kembali bersatu dalam sebuah tim Bajak Laut Topi Jerami. Tentu setelah terpisah panjang, dan semua anggotanya telah belajar dan belatih untuk meningkatkan ilmu dan kekuatan mereka masing-masing. Kini Luffy seakan mendapatkan kembali anggotanya namun dengan kemampuan yang berbeda, yaitu bertambah kuat.
Setelah anggotanya berkumpul kembali maka petualangan baru di Dunia Baru juga dimulai, musuh kuat telah menanti di depan. Seorang Shichibukai bernama Do Flaminggo, telah menanti Luffy. Pertempuran dengan Do Flaminggo menjadi pertempuran yang sangat menarik untuk dilihat, ini adalah masa awal dimana Luffy beserta seluruh timnya untuk menguji coba kekuatan barunya, setelah dua tahun terpisah. Singkat cerita, akhirnya Do Flaminggo dapat dikalahkan oleh Luffy, ya meskipun dengan susah payah.

Lalu apa hubunganya?
Tentu saya tidak akan menyamakan hidup ini sebagaimana yang terjadi di kisah perjalanan Luffy dan kru Topi Jerami. Beberapa poin yang dapat saya ambil adalah ketika semua anggota Topi Jerami di buang oleh Kuma di tempat yang berbeda-beda namun sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Tentu hal itu bertentangan dengan ambisi Luffy yang ingin menjadi raja bajak laut.
Disadari atau tidak, dengan dibuangnya seluruh anggota topi jerami, maka mereka akan belajar dan berlatih untuk menjadi lebih kuat, karena dengan kemampuan yang mereka miliki saat itu, tentu masih belum cukup. Jika digambarkan di dunia nyata, setiap orang yang memiliki kelompok atau regu, atau tim, atau lembaga atau apalah, dengan keinginan serta cita-citanya yang begitu besar, tentu hal itu saja tidaklah cukup, dia harus belajar dan berlatih juga, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Tentu di awal Luffy tidaklah sadar dan juga mau, jika dia harus berpisah dengan seluruh anggota timnya, kesedihan dan kemarahan terlihat jelas pada raut wajahnya, namun kepercayaan dan cinta sebagai sebuah keluarga, akhirnya Luffy merelakan untuk sementara waktu berpisah dengan mereka semua. Seakan Luffy memberikan waktu bagi setiap anggotanya untuk kembali belajar dan berlatih untuk menjadi anggota yang kuat untuk menghadapi pertempuran dan petualangan selanjutnya.
Dalam hidup ini, tentu ambisi dan keinginan kuat untuk menjadi yang terbaik memang sangat dibutuhkan, namunwaktu untuk berlatih dan belajar untuk menjadi lebih baik pada setiap diri anggota tim juga tidak kalah pentingnya. Jika Luffy tidak memberikan waktu bagi krunya untuk berlatih, mungkin anggotanya tidak bisa sekuat saat ini. Jika ini diterapkan di dalam dunia nyata, semangat yang kuat untuk mengembangan potensi diri masing-masing anggota tentu sangat dibutuhkan  agar kelak setiap anggota yang ada akan menjadi orang yang memiliki kekuatan yang jauh lebih hebat. Dengan demikian, lembaga atau perahu yang dia miliki (tim) dapat menjadi tim yang hebat pula.

Proses Berpisah
Proses berpisah ini, saya anggap sebagai usaha bagi setiap individu untuk mengembangkan ilmu dan angan-angan dia, Brook misalnya ketika di terpisah dia mengembangkan keahlian di dalam bermain musik. Zoro, ketikan dia berpisah, dia belajar untuk menjadi seorang ahli pedang, begitu juga dengan anggota kru yang lain.
Dalam dunia nyata ini, mungkin ketika dalam suatu tim yang telah memiliki ikatan emosional yang kuat seperti seorang keluarga, saya yakin ketika mereka saling yakin dengan anggota tim (anggap: keluarga), maka suatu saat jika mereka semua telah meiliki kekuatan yang dianggapnya cukup, maka dengan sendirinya hatinya akan memanggil untuk kembali berkumpul.
Namun jika dipaksakan untuk menerjang tentangan yang kedepanya pasti semakin berat, tentu Luffy akan dengan mudah dikalahkan. Begitu juga dengan sebuah tim tadi, jika terus saja dipaksakan untuk tetap maju tanpa memberikan ruang bagi anggotanya untuk belajar dan berlatih lagi, tentu akan sangat sulit untuk mampu menghadapi tantangan dan rintangan kedepanya.
Bagi saya bukan masalah selalu bersama atau tidaknya seluruh anggota tim, melainkan kesiapan dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap anggotanya lah yang menjadi penentu. Lima atau Sepuluh tahun bukanlah waktu yang lama, bagi seseorang untuk belajar guna menerobos dan menerjang rintangan kehidupan. Hal itu tentu lebih baik, daripada memaksakan bersama namun setiap anggota masih belum mampu menghadapi rintangan kedepanya.
Setelah semua anggota Bajak Laut Topi Jerami terkumpul dengan kekuatanya yang lebih besar, maka mereka akan mampu mengalahkan musuh-musuhnya yang juga semakin kuat. Sama halnya setelah semua anggota tim menempa ilmu dan berlatih, hingga mereka benar-benar kuat (meskipun terpisah-pisah), maka pada saat mereka kembali dan berkumpul, disitulah kekuatan besar juga telah terkumpul, dan siap menghadapi tantangan kehidupan kedepanya.